Oleh : Aan Kandar Karnawan
Baca juga: Pengadilan Tipikor Bandung Menghukum Dua Terdakwa Korupsi BBPPK Dan PPK LembangPelantikan pejabat eselon 2 atau (dua) di Kabupaten Bandung Barat atau KBB pada hari Kamis tanggal 11 September 2025 menuai sorotan tajam. Keputusan Sekretaris Daerah atau Sekda Kabupaten Bandung Barat saya nilai blunder, karena telah mengosongkan lima jabatan kepala Organisasi Perangkat Daerah atau OPD strategis yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Kelima jabatan tersebut adalah Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas PUTR, DPMPTSP dan Bappeda. Kondisi ini menimbulkan keresahan, sebab pelayanan publik terancam terganggu di tengah situasi pembangunan yang sedang stagnan.
Baca juga: Orang-Orang Tersayang Merindukan di RumahSelaku Pemerhati Kebijakan Publik Lsm Monitoring Community, saya menilai bahwa langkah mutasi dan rotasi tersebut tidak hanya dipandang sebagai kebijakan administratif biasa, melainkan sebagai skenario penuh kepentingan. Publik menilai ada permainan politik dan pengamanan anggaran yang melibatkan lingkaran dekat Sekda serta sebagian anggota legislatif. Motifnya diduga lebih condong kepada kepentingan pribadi ketimbang murni kebutuhan birokrasi.
Baca juga: Ketum SPRI Himbau Media Redam Isu Kerusuhan Lewat Berita KondusifSejak menjabat sebagai Penjabat atau Pj. Bupati, Sekda disebut-sebut menginstruksikan sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah atau OPD untuk menjalankan proyek tertentu. Proyek-proyek tersebut diduga diarahkan bukan demi kebutuhan masyarakat, melainkan demi mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Hal inilah yang kemudian menggerus keuangan daerah yang seharusnya digunakan untuk program prioritas masyarakat.
Baca juga: Eksploitasi Isu Negatif, Media Berpotensi Ciptakan ‘Copycat Crime’ di IndonesiaSalah satu kasus yang ramai diperbincangkan publik adalah hilangnya dana insentif stunting sebesar Rp 4 miliar lebih pada tahun anggaran 2024. Dana yang seharusnya difokuskan untuk intervensi stunting justru raib tanpa kejelasan. Ironisnya, alokasi ini sejatinya diarahkan untuk program gizi anak agar angka stunting bisa ditekan.Namun fakta berbicara lain. Angka stunting di Bandung Barat pada tahun 2024 justru melonjak drastis, bahkan tercatat sebagai yang tertinggi di Jawa Barat. Hal ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah, sekaligus memperlihatkan lemahnya tata kelola anggaran bagi kesejahteraan masyarakat.Tak hanya itu, menjelang tahun anggaran 2025, berbagai kegiatan OPD juga tersendat. Banyak program yang seharusnya segera berjalan justru tertahan karena pencairan anggaran ditahan. Akibatnya, pelayanan masyarakat semakin terhambat dan roda pembangunan tersendat di berbagai sektor.Kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar: mengapa anggaran bisa ditahan sementara masyarakat sangat membutuhkannya ? Dugaan kuat mengarah pada strategi pengendalian keuangan oleh Sekda dan jaringan politiknya untuk kepentingan tertentu.Skenario rotasi-mutasi pejabat eselon 2 pun semakin dipertanyakan. Asesmen yang digadang-gadang sebagai mekanisme obyektif, justru diduga hanya menjadi formalitas. Nama-nama yang dianggap dekat dengan lingkaran kekuasaan lebih diuntungkan, sementara pejabat yang terbukti berkinerja baik justru tersingkir.Inilah yang kemudian menimbulkan kesan kuat bahwa birokrasi KBB sedang dipreteli demi kepentingan kelompok tertentu. Padahal, birokrasi seharusnya dijalankan secara profesional, netral, dan berpihak pada pelayanan masyarakat.Dampak langsung dari kekosongan lima jabatan kepala OPD tidak main-main. Program kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga kesejahteraan sosial terancam stagnasi. Masyarakat sebagai penerima manfaat akhirnya yang paling dirugikan.Kritik pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, akademisi, hingga pemerhati kebijakan publik. Mereka menilai langkah Sekda adalah blunder fatal yang bisa menjerumuskan Bandung Barat ke dalam krisis pelayanan publik yang lebih dalam.Situasi ini semakin memperlihatkan bagaimana birokrasi yang seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan publik justru dijadikan alat untuk mengamankan kepentingan kelompok kecil. Tidak heran bila kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah terus tergerus.Publik juga menyoroti lemahnya peran pengawasan legislatif. Alih-alih kritis terhadap eksekutif, sebagian pihak di dewan justru diduga ikut bermain dalam pusaran kepentingan anggaran. Hal ini menambah panjang daftar persoalan tata kelola pemerintahan di Bandung Barat.Jika kondisi ini terus dibiarkan, yang dirugikan adalah masyarakat kecil. Mereka harus menanggung akibat dari stagnasi pembangunan, buruknya layanan publik, dan program-program yang gagal berjalan tepat sasaran.Laporan kritis ini menjadi pengingat bahwa tata kelola pemerintahan harus dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat. Ketika prinsip tersebut dilanggar, maka yang muncul hanyalah praktik manipulasi birokrasi yang merugikan publik.Kabupaten Bandung Barat membutuhkan pemimpin birokrasi yang berintegritas, bukan aktor politik yang bermain di belakang meja. Mutasi dan rotasi jabatan seharusnya didasarkan pada kebutuhan organisasi dan kinerja, bukan kepentingan pribadi maupun kelompok.Krisis yang terjadi saat ini mestinya menjadi alarm keras bagi seluruh elemen masyarakat untuk tidak diam. Tekanan publik harus diperkuat agar praktik-praktik yang merugikan rakyat bisa segera dihentikan.Pada akhirnya, masyarakat menanti langkah nyata dari pihak berwenang untuk membenahi carut-marut tata kelola pemerintahan di KBB. Bukan sekadar retorika, melainkan tindakan konkret yang mengembalikan marwah birokrasi sebagai pelayan masyarakat.Sejarah mencatat, setiap praktik penyalahgunaan wewenang selalu berakhir buruk. Jika Bandung Barat tidak segera berbenah, maka yang tersisa hanyalah daerah yang kehilangan arah, terjebak dalam lingkaran kepentingan sempit, dan mengabaikan kesejahteraan rakyatnya sendiri. (Y CHS/Sumber: AKK).
Bagikan: