Tanah Batak hari ini berada di persimpangan yang mengkhawatirkan. Hadirnya sertifikat tanah yang semula dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum, justru perlahan menjadi ancaman yang dapat menghapus jejak warisan leluhur dari tangan anak cucu kita. Padahal Tanah Batak—terutama Samosir, titik nol masyarakat Batak—bukan sekadar wilayah geografis, tetapi nadi identitas, martabat, dan sejarah panjang yang diwariskan ompu-ompu kita.
Baca juga: Kosongkan Lima Kepala OPD yang Langsung Bersentuhan dengan Masyarakat, Sekda KBB BlunderSejak dulu setiap marga memiliki golat, bius, serta batas tanah adat yang dijaga dengan rasa hormat yang mendalam. Itu bukan harta biasa—itu amanah suci yang harus diwariskan, bukan diperjualbelikan.
Baca juga: Orang-Orang Tersayang Merindukan di RumahDi banyak daerah Nusantara, seperti Bali, Yogyakarta, dan sebagian wilayah Minangkabau, tanah adat dilindungi dengan aturan adat yang kuat. Mereka tidak menjual tanah leluhur berapa pun harga yang ditawarkan. Para pendatang hanya dapat menyewa, bukan memiliki. Karena itu tanah mereka tetap utuh, tetap menjadi ruang hidup bagi generasi yang bahkan belum lahir.
Baca juga: Ketum SPRI Himbau Media Redam Isu Kerusuhan Lewat Berita KondusifIronisnya, di Tanah Batak, sertifikat tanah justru membuka pintu runtuhnya tatanan adat tersebut. Tanah warisan yang dulu mempersatukan keluarga kini berubah menjadi sertifikat-sertifikat pribadi. Dan ketika kerasnya hidup di perantauan memaksa banyak saudara kita mengambil keputusan besar—biaya sekolah anak, modal usaha, atau kebutuhan hidup lainnya—tanah warisan itu akhirnya dijual. Alasannya manusiawi, tetapi dampaknya sangat besar: sedikit demi sedikit tanah Batak menghilang dari pemilik aslinya.Dulu tanah itu berpindah tangan masih dalam komunitas Batak. Kini, semakin banyak tanah Batak dikuasai pendatang—bahkan warga negara asing. Jika tren ini terus berlanjut, apa yang akan kita tinggalkan bagi generasi Batak berikutnya? Bagaimana mungkin kita mempertahankan identitas ketika tanah tempat leluhur kita berpijak pun bukan lagi milik kita?
Baca juga: Eksploitasi Isu Negatif, Media Berpotensi Ciptakan ‘Copycat Crime’ di IndonesiaPerlu diingat, kekayaan hari ini bukanlah jaminan untuk keturunan esok. Banyak keluarga besar yang dulunya terpandang kini hidup sederhana. Begitu juga sebaliknya. Karena itu mempertahankan tanah adat tidak boleh bergantung pada kondisi ekonomi sesaat—ini soal masa depan, soal keberlangsungan identitas.Sudah saatnya pemerintah daerah bertindak: membangun hukum adat atau regulasi tanah adat yang benar-benar diakui negara. Aturan yang melarang penjualan tanah warisan, terutama kepada orang asing. Aturan yang memastikan pemerintah tidak memberikan layanan administrasi atas penjualan tanah adat. Tanah Batak harus tetap dalam genggaman orang Batak. Itu inti dari perjuangan ini.Kita tidak menolak pembangunan. Investor tetap boleh datang. Tetapi kemajuan tidak harus merampas akar tradisi. Biarlah mereka menyewa tanah, bukan memilikinya selamanya.Selain menjaga tanah agar tidak punah, hukum adat yang jelas juga akan meredam konflik keluarga yang sering memanas akibat perebutan warisan. Jika kita kembali pada adat, penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara bermartabat oleh para tokoh adat.Semoga pemerintah daerah tidak lagi menutup mata. Semoga keresahan masyarakat ini didengar, dan segera dijawab dengan tindakan nyata. Tanah Batak adalah warisan yang tidak bisa diganti oleh apa pun.Tanah Batak adalah identitas kita. Tanah Batak adalah napas kita. Jika tanah itu hilang, apa lagi yang bisa kita wariskan kepada generasi penerus?Penulis: Jepri Sitanggang
Bagikan: